Sabtu, 09 Juni 2012

Siera, Ketika Ia Datang Part V "Dekapan Pohon Akasia"


Siapa aku? Air matanya membasahi jiwanya yang berontak. Teriakan memanggil namanya, pendengarannya terkunci, penglihatannya tertutup, ia membulatkan tekadnya. Takdir berkhendak lain, ia tenggelam dalam kegelapannya sendiri.
Tsuki berjalan perlahan, air matanya mengalir mengikuti perasaannya. Ia menjauhi Jui, mungkin ini jalan yang terbaik. Tidak hanya untuk Jui namun untuk semuanya. Ia menghentikan langkahnya, kemudian duduk di bawah pohon akasia.
Sambil memandang langit ia berucap, “Andai aku bukan sang penghancur, apakah Jui akan mencariku saat ini? Atau mungkin orang lain yang mencariku.”
“Jui tidak akan mencariku, dia hanya peduli jika aku di dekatnya. Sekarang aku sudah jauh dan Trancy tak akan marah lagi kepadaku.”
Dahan pohon akasia di belakangnya berayun mengikuti hembusan angin malam itu. Tsuki mulai tenggelam dalam keputusasaannya sendiri. Ia terbawa di dalam pikirannya yang paling dalam. Kegelapannya sendiri....
“ANAK ANEH!!! ANAK ANEH!!!”
“JANGAN BERTEMAN DENGAN DIA!!! DIA PEMBAWA SIAL!!!”
“HATI-HATI DIBUNUHNYA! ORANG TUANYA SAJA MATI DIBUNUHNYA!”
Anak-anak itu mengelilinginya sambil meneriakkan hinaan dan cercaan, ia tetap terdiam. Hatinya perih mendengar ucapan itu, ia kemudian berlari menjauhi anak-anak itu. Ia memanjat pohon akasia kemudian duduk di dahannya, ditatapnya langit, ia menangis.
“Hei ada apa?”
Suara yang sangat dikenal olehnya menyapanya, tangisannya semakin menjadi. Anak yang baru datang itu memanjat pohon kemudian membelai rambutnya.
“Kamu kuatkan?”
Ia hanya mengangguk kecil kemudian menyandarkan kepalanya ke pundak anak itu.
“Aku dibenci, aku dibilang anak aneh, aku pembunuh,”
“Itu salah,” ucap anak itu sambil terus menenangkannya.
“Benarkah?”
“Iya,” jawab anak itu sambil tersenyum.
Tiba-tiba di sekitarnya menjadi gelap, terlihat seorang anak-anak laki-laki sedang asyik bermain. Dari kejauhan ada suaranya memanggil nama salah seorang anak, “JUI! JUI!”
Salah seorang teman anak laki-laki itu menyeletuknya,”Tuh dipanggil tuh kamu, gimana nih? Kan masih seru mainnya?”
Jui melihat sumber suara itu, “Ah biarin aja dia, pergi aja yuk!”
“Jui dimana? Apa gara-gara aku mengajaknya makan bersama tadi tapi dia tidak mau, aku tidak makan dimarahi tapi aku ga boleh marah sama dia. Sekarang dia dimana?” batin anak itu, perlahan-lahan air matanya menetes.
“Oh ya aku kan bisa kontak dengan saber milik Jui! Aku coba deh!” ucap anak itu dengan riang sambil menyeka air matanya. Ia mengeluarkan sabernya, saber berwarna biru dengan gagang lebih panjang dari mata pisaunya, itulah cryptic saber. Tsuki terkejut ternyata anak itu adalah dia, diperhatikannya terus anak perempuan itu. Anak perempuan itu mencoba mengadakan kontak dengan saber milik Jui namun nihil, wajahnya memancarkan kekecewaan. Ia menangis lagi, Tsuki mencoba menghiburnya namun anak itu tak dapat menyadari kehadirannya.
“Kamu ga sendirian, aku akan panggilkan Jui kemari! Jangan menangis ya,” ucap Tsuki.
Tsuki berlari mengejar anak laki-laki itu namun entah mengapa ia tidak dapat menyusulnya. Ia berteriak, “JUI!!!JUI!!!” namun anak laki-laki itu tetap tidak menoleh dan semakin jauh hingga hilang dihadapannya.
Kegelapan itu berpuutar lagi, kali ini ia berada di ruangan tempat cryptic saber mebunuh sahabatnya. Darah berceceran di gudang atas rumahnya, ia menangis dalam dekapan Yox. Kegelapan itu berputar lagi.
“Kenapa aku dimarahi terus?” tanya seorang anak perempuan
“Karena setiap kau dibentak kau selalu down! Karena itu aku memarahimu dan bagaiman ajika kau terjun ke masyarakat! Apa kau harus menangis terus!”
Anak perempuan itu menunduk, ia tak berani menatap anak laki-laki yang memarahinya. Ia masuk ke dalam kamarnya, dipeluknya boneka tedy munggilnya, ia menangis namun ia selalu menyeka air matanya sambil berkata pelan, “Kata Jui aku ga boleh nangis! Ga boleh!”
Tsuki memandang anak itu dengan tatapan kasihan, Tsuki mencoba membelai anak itu namun nihil. Tidak ada rasa kasih sayang yang di rasakannya, kegelapan semakin menyelimutinya apalagi tidak ada yang mencemaskannya sampai saat ini.
“Jui yang kukenal dulu tidak seperti itu, ia mengajariku kelembutan bukan amarah.”
Kegelapannya berputar lagi, ruangan ini...
"Saber itu pembunuh ayahku! KAU PEMBUNUH!" teriak Trancy dengan marah.
Ini...
"AAAAAAAAAAAARRRGGGGHHHHTTTT!!!!!!!!" teriakku sambil menutup mata dan kedua telingaku.
“Sampai sekarang tidak ada yang mencariku, semua sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Siapa aku?”
“Jangan percaya orang lain, buatlah orang lain bahagia walau diriku korbannya.”
“Ya! Itu yang terbaik.”
“Tidak ada yang mencemaskanku...”
”Tidak ada yang peduli denganku...”
“Mungkin lebih baik seperti ini...”

"Tidak hanya untuk Jui, namun untuk Trancy, Yox, dan semuanya..."
-------------------------------------------------------------
Malam itu begitu pekat, ia terus berlari, pandangannya lurus ke depan, yang ada dipikirannya hanya satu, “ Dimana dia?!?!”
“JUI TUNGGU!!! AKU KELELAHAN!!! TIDAK BISAKAH KAU JALAN PERLAHAN! KAMI RAS GOLEM TIDAK DICIPTAKAN UTUK BERLARI!!!” ucap Trancy.
Ia menghentikan langkahnya kemudian menatap golem wanita itu, “Baiklah kita istirahat.”
Ia menyilakan kedua kakinya, dilihatnya Trancy, golem itu sudah tertidur karena kelelahan, kemudian ia menatap langit, “Sepi sekali, kemana bintang-bintang?” batinnya.
Tiba-tiba muncul bintang dengan cahaya redup, bintang itu turun ke hadapan Jui.
“Aku Andromeda, turunkan sabermu” ucapnya sambil menunjuk saber Jui yang dihadapkan di wajahnya.
Jui segera menurunkan sabernya dan berkata, “Ada keperluan apa kemari?”
Andromeda mengeluarkan botol kecol dari saku jubahnya kemudian memberikannya ke Jui, “Ini.”
“Apa ini?” tanya Jui terkejut melihat apa yang diberikan oleh Andromeda.
“Air mata darah, kuambil dari bagian hutan yang tergelap, di bawah pohon akasia. Seorang elf terikat di sana namun pohon itu menangis, air matanya bukan airmata biasa melainkan ini. Pohon itu sudah lama disegel oleh kami peri bintang namun keputusasaan seseorang melemahkan segel itu. Jika kau bisa menyadarkan elf itu maka pohon dapat kami segel kembali.”
“Elf? Tunggu! JANGAN-JANGAN DIA?!?!” batin Jui tidak percaya.
“Sekarang dimana pohon itu?” tanya Jui
“Di bagian hutan yang terdalam, kau tidak akan menemukannya jika masih ada kegelapan di dalam hatimu. Kau tidak akan dapat membebaskan elf itu karena jiwanya telah ditawan kegelapannya sendiri namun jika elf itu tersadar maka ia dapat lepas dari pohon itu.” ucap Andromeda.
“dan satu lagi, jika kau terbawa dalam perasaan yang ditunjukkan pohon itu maka jiwa elf itu perlahan-lahan akan lenyap. Dekapan pohon akasia, itulah kutukannya,”sambung Andromeda.
Jui berlari mengikuti Andromeda, ia menggenggam erat botol kecil pemberian Andromeda. “Maafkan aku Tsuki, andai saat itu aku lebih peka terhadap perasaanmu setelah dibentak Trancy,”batin Jui.
Andromeda menghentikan langkahnya, “Pohonnya ada didalam, kau jalan lurus saja. kami peri bintang tak dapat masuk ke dalam karena kekuatan kami melemah akibat kegelapan itu. Saat kau masuk maka kau akan mulai merasakan sesuatu yang kelam, jangan terbawa hal itu. Fokuslah pada tujuan awalmu atau jika kau memang ingin jiwa elf itu hilang,” ucap Andromeda.
“Aku ada satu pertanyaan, mengapa kau memilihku untuk masuk kemari?” tanya Jui penasaran.
“kami peri bintang melihat sebagian kecil kegelapan itu dan kau ada di dalamnya. Aku tidak begitu paham tapi sepertinya kau pernah menyakiti elf itu. Sekarang masuklah ke dalam, temukan pohon itu. Semoga berhasil, kami akan membantumu dari jauh,”ucap Andromeda.
Jui menatap hutan gelap di hadapannya, ia mulai berlari
“Tsuki tunggu aku....!”


============to be continue==================

Tidak ada komentar: