Siapa
aku? Air matanya membasahi jiwanya yang berontak. Teriakan memanggil namanya,
pendengarannya terkunci, penglihatannya tertutup, ia membulatkan tekadnya.
Takdir berkhendak lain, ia tenggelam dalam kegelapannya sendiri.
Tsuki berjalan
perlahan, air matanya mengalir mengikuti perasaannya. Ia menjauhi Jui, mungkin
ini jalan yang terbaik. Tidak hanya untuk Jui namun untuk semuanya. Ia
menghentikan langkahnya, kemudian duduk di bawah pohon akasia.
Sambil memandang langit
ia berucap, “Andai aku bukan sang penghancur, apakah Jui akan mencariku saat
ini? Atau mungkin orang lain yang mencariku.”
“Jui tidak akan
mencariku, dia hanya peduli jika aku di dekatnya. Sekarang aku sudah jauh dan
Trancy tak akan marah lagi kepadaku.”
Dahan pohon akasia di
belakangnya berayun mengikuti hembusan angin malam itu. Tsuki mulai tenggelam
dalam keputusasaannya sendiri. Ia terbawa di dalam pikirannya yang paling
dalam. Kegelapannya sendiri....
“ANAK ANEH!!! ANAK
ANEH!!!”
“JANGAN BERTEMAN DENGAN
DIA!!! DIA PEMBAWA SIAL!!!”
“HATI-HATI DIBUNUHNYA!
ORANG TUANYA SAJA MATI DIBUNUHNYA!”
Anak-anak itu
mengelilinginya sambil meneriakkan hinaan dan cercaan, ia tetap terdiam.
Hatinya perih mendengar ucapan itu, ia kemudian berlari menjauhi anak-anak itu.
Ia memanjat pohon akasia kemudian duduk di dahannya, ditatapnya langit, ia
menangis.
“Hei ada apa?”
Suara yang sangat
dikenal olehnya menyapanya, tangisannya semakin menjadi. Anak yang baru datang
itu memanjat pohon kemudian membelai rambutnya.
“Kamu kuatkan?”
Ia hanya mengangguk
kecil kemudian menyandarkan kepalanya ke pundak anak itu.
“Aku dibenci, aku
dibilang anak aneh, aku pembunuh,”
“Itu salah,” ucap anak
itu sambil terus menenangkannya.
“Benarkah?”
“Iya,” jawab anak itu
sambil tersenyum.
Tiba-tiba di sekitarnya
menjadi gelap, terlihat seorang anak-anak laki-laki sedang asyik bermain. Dari
kejauhan ada suaranya memanggil nama salah seorang anak, “JUI! JUI!”
Salah seorang teman
anak laki-laki itu menyeletuknya,”Tuh dipanggil tuh kamu, gimana nih? Kan masih
seru mainnya?”
Jui melihat sumber
suara itu, “Ah biarin aja dia, pergi aja yuk!”
“Jui dimana? Apa
gara-gara aku mengajaknya makan bersama tadi tapi dia tidak mau, aku tidak
makan dimarahi tapi aku ga boleh marah sama dia. Sekarang dia dimana?” batin
anak itu, perlahan-lahan air matanya menetes.
“Oh ya aku kan bisa
kontak dengan saber milik Jui! Aku coba deh!” ucap anak itu dengan riang sambil
menyeka air matanya. Ia mengeluarkan sabernya, saber berwarna biru dengan
gagang lebih panjang dari mata pisaunya, itulah cryptic saber. Tsuki terkejut ternyata anak itu adalah dia,
diperhatikannya terus anak perempuan itu. Anak perempuan itu mencoba mengadakan
kontak dengan saber milik Jui namun nihil, wajahnya memancarkan kekecewaan. Ia
menangis lagi, Tsuki mencoba menghiburnya namun anak itu tak dapat menyadari
kehadirannya.
“Kamu ga sendirian, aku
akan panggilkan Jui kemari! Jangan menangis ya,” ucap Tsuki.
Tsuki berlari mengejar
anak laki-laki itu namun entah mengapa ia tidak dapat menyusulnya. Ia
berteriak, “JUI!!!JUI!!!” namun anak laki-laki itu tetap tidak menoleh dan
semakin jauh hingga hilang dihadapannya.
Kegelapan itu berpuutar
lagi, kali ini ia berada di ruangan tempat cryptic saber mebunuh sahabatnya.
Darah berceceran di gudang atas rumahnya, ia menangis dalam dekapan Yox.
Kegelapan itu berputar lagi.
“Kenapa aku dimarahi
terus?” tanya seorang anak perempuan
“Karena setiap kau
dibentak kau selalu down! Karena itu
aku memarahimu dan bagaiman ajika kau terjun ke masyarakat! Apa kau harus
menangis terus!”
Anak perempuan itu
menunduk, ia tak berani menatap anak laki-laki yang memarahinya. Ia masuk ke
dalam kamarnya, dipeluknya boneka tedy munggilnya, ia menangis namun ia selalu
menyeka air matanya sambil berkata pelan, “Kata Jui aku ga boleh nangis! Ga boleh!”
Tsuki memandang anak
itu dengan tatapan kasihan, Tsuki mencoba membelai anak itu namun nihil. Tidak
ada rasa kasih sayang yang di rasakannya, kegelapan semakin menyelimutinya
apalagi tidak ada yang mencemaskannya sampai saat ini.
“Jui yang kukenal dulu tidak
seperti itu, ia mengajariku kelembutan bukan amarah.”
Kegelapannya berputar lagi, ruangan ini...
"Saber itu pembunuh ayahku! KAU PEMBUNUH!" teriak Trancy dengan marah.
Ini...
"AAAAAAAAAAAARRRGGGGHHHHTTTT!!!!!!!!" teriakku sambil menutup mata dan kedua telingaku.
Kegelapannya berputar lagi, ruangan ini...
"Saber itu pembunuh ayahku! KAU PEMBUNUH!" teriak Trancy dengan marah.
Ini...
"AAAAAAAAAAAARRRGGGGHHHHTTTT!!!!!!!!" teriakku sambil menutup mata dan kedua telingaku.
“Sampai sekarang tidak
ada yang mencariku, semua sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Siapa aku?”
“Jangan percaya orang
lain, buatlah orang lain bahagia walau diriku korbannya.”
“Ya! Itu yang terbaik.”
“Tidak ada yang
mencemaskanku...”
”Tidak ada yang peduli
denganku...”
“Mungkin lebih baik
seperti ini...”
"Tidak hanya untuk Jui, namun untuk Trancy, Yox, dan semuanya..."
-------------------------------------------------------------
"Tidak hanya untuk Jui, namun untuk Trancy, Yox, dan semuanya..."
-------------------------------------------------------------
Malam itu begitu pekat,
ia terus berlari, pandangannya lurus ke depan, yang ada dipikirannya hanya
satu, “ Dimana dia?!?!”
“JUI TUNGGU!!! AKU KELELAHAN!!!
TIDAK BISAKAH KAU JALAN PERLAHAN! KAMI RAS GOLEM TIDAK DICIPTAKAN UTUK
BERLARI!!!” ucap Trancy.
Ia menghentikan
langkahnya kemudian menatap golem wanita itu, “Baiklah kita istirahat.”
Ia menyilakan kedua
kakinya, dilihatnya Trancy, golem itu sudah tertidur karena kelelahan, kemudian
ia menatap langit, “Sepi sekali, kemana bintang-bintang?” batinnya.
Tiba-tiba muncul
bintang dengan cahaya redup, bintang itu turun ke hadapan Jui.
“Aku Andromeda,
turunkan sabermu” ucapnya sambil menunjuk saber Jui yang dihadapkan di
wajahnya.
Jui segera menurunkan
sabernya dan berkata, “Ada keperluan apa kemari?”
Andromeda mengeluarkan
botol kecol dari saku jubahnya kemudian memberikannya ke Jui, “Ini.”
“Apa ini?” tanya Jui
terkejut melihat apa yang diberikan oleh Andromeda.
“Air mata darah,
kuambil dari bagian hutan yang tergelap, di bawah pohon akasia. Seorang elf
terikat di sana namun pohon itu menangis, air matanya bukan airmata biasa
melainkan ini. Pohon itu sudah lama disegel oleh kami peri bintang namun keputusasaan
seseorang melemahkan segel itu. Jika kau bisa menyadarkan elf itu maka pohon
dapat kami segel kembali.”
“Elf? Tunggu!
JANGAN-JANGAN DIA?!?!” batin Jui tidak percaya.
“Sekarang dimana pohon
itu?” tanya Jui
“Di bagian hutan yang
terdalam, kau tidak akan menemukannya jika masih ada kegelapan di dalam hatimu.
Kau tidak akan dapat membebaskan elf itu karena jiwanya telah ditawan
kegelapannya sendiri namun jika elf itu tersadar maka ia dapat lepas dari pohon
itu.” ucap Andromeda.
“dan satu lagi, jika
kau terbawa dalam perasaan yang ditunjukkan pohon itu maka jiwa elf itu
perlahan-lahan akan lenyap. Dekapan pohon akasia, itulah kutukannya,”sambung
Andromeda.
Jui berlari mengikuti
Andromeda, ia menggenggam erat botol kecil pemberian Andromeda. “Maafkan aku Tsuki,
andai saat itu aku lebih peka terhadap perasaanmu setelah dibentak
Trancy,”batin Jui.
Andromeda menghentikan
langkahnya, “Pohonnya ada didalam, kau jalan lurus saja. kami peri bintang tak
dapat masuk ke dalam karena kekuatan kami melemah akibat kegelapan itu. Saat
kau masuk maka kau akan mulai merasakan sesuatu yang kelam, jangan terbawa hal
itu. Fokuslah pada tujuan awalmu atau jika kau memang ingin jiwa elf itu
hilang,” ucap Andromeda.
“Aku ada satu
pertanyaan, mengapa kau memilihku untuk masuk kemari?” tanya Jui penasaran.
“kami peri bintang
melihat sebagian kecil kegelapan itu dan kau ada di dalamnya. Aku tidak begitu
paham tapi sepertinya kau pernah menyakiti elf itu. Sekarang masuklah ke dalam,
temukan pohon itu. Semoga berhasil, kami akan membantumu dari jauh,”ucap
Andromeda.
Jui menatap hutan gelap
di hadapannya, ia mulai berlari
“Tsuki tunggu aku....!”
============to be continue==================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar